BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Usaha untuk
melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi sebuah perdebatkan pada saat
penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 di Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Sukarno-Supomo di
satu pihak dan Hatta dan Muh.Yamin di lain pihak.[1] Di
samping itu Soekarno dan Soepomo pun berpendapat bahwa negara harus didirikan
berdasarkan paham kekeluargaan. Sedangkan, HAM adalah hasil dari paham
individualisme, sehingga HAM tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam UUD 1945.
Namun, menurut Hatta-Muh. Yamin, untuk menjaga agar negara yang akan didirikan
tidak menjadi sebuah negara kekuasaan, maka HAM perlu di masukkan ke dalam UUD
1945.
Setelah melalui
perdebatan-perdebatan yang menghasilkan rancangan UUD 1945 dan disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, di dalam
batang tubuh dari UUD 1945, HAM hanya dimuat pada Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29,
Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 34 saja, sedangkan pelaksanaan dari Pasal 28,
Pasal 30, dan Pasal 31 masih harus ditetapkan dengan Undang-Undang.[2]
HAM yang telah
dimuat didalam UUD 1945 sebenarnya telah mendahului HAM yang dimuat di dalam Deklarasi
Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau The Universal Daclaration of Human Rights
(UDHR), dikarenakan DUHAM sendiri dideklarasikan pada tanggal 10 Deseber 1948
yang ditetapkan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Paris.
Namun, pada
saat berlakunya Konsitusi RIS dan UUDS 1950, terdapat 36 Pasal prinsip-prinsip
HAM dimuat di bawah payung hak-hak kebebasan-kebebasan dasar manusia yang
dijabarkan dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 43. Setelah Indonesia kembali kepada UUD 1945, di
bawah rezim Soekarno dan dilanjutkan masa rezim Soeharto dengan orde barunya,
pengaturan HAM kembali bengikuti beberapa Pasal dalam UUD 1945. Dan banyak dikeluarkan Peraturan
Perundang-Undangan yang isinya merupakan suatu pelanggaran HAM. Di dunia
Internasional instrumen-instrumen HAM semakin berkembang dalam berbagai
konvensi dan kovenannya. Perlindungan HAM dijadikan sebagai norma yang
fundamental untuk berhubungan dengan negara-negara Barat. Seiring dengan
perjalanan sejarah, isu-isu HAM menjadi sebuah isu internasional atau isu
global yang dapat memberikan konflik-konflik antar negara.
Di Indonesia
sendiri, isu HAM menjadi dilema yang pelik, setelah orde baru yang dipimpin
oleh Soeharto banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM. Dikarenakan
banyak sekali pelanggaran HAM, maka banyak pula berbagai tekanan baik tekanan
dari dalam maupun luar negeri agar ada perlindungan HAM di Indonesia.
Pemerintah tidak tinggal diam untuk menanggapi berbagai tekanan-tekanan,
kemudian pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, telah
dibentu Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM) yang bertugas untuk memantau dan
menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberikan pendapat, pertimbangan, dan saran
kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan HAM.
Eksistensi HAM
sendiri tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan manusia, oleh karenanya
HAM memiliki sifat yang selalu melekat pada diri setiap manusia. HAM diberikan
kepada manusia bukan dikarenakan manusia sebagai masyarakat, melainkan
dikarenakan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Faktor-faktor seperti ras,
agama, jenis kelamin, bahasa, dan suku tidak dapat menegasikan eksistensi HAM
pada diri manusia.
Oleh karena
itu, didalam penelitian ini akan dibahas mulai dari sejarah HAM sehingga dalam penelitian
ini, peneliti dapat menguraikan lebih lanjut bagaimana eksistensi dari
penegakkan HAM di Indonesia.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang
telah dijabarkan di dalam makalah yang berjudul “Eksistensi Penegakan HAM di
Indonesia”, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia?
2.
Bagaimana
peranan pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan HAM di Indonesia?
C. TUJUAN
PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang
terdapat didalam penelitian yang berjudul “Eksistensi Penegakan Hukum HAM di
Indonesia”, maka dapat dijabarkan tujuan penelitian di dalam penelitian ini,
yaitu :
a.
Tujuan
Umum
Tujuan umum
penelitian dari penelitian ini adalah untuk mengetahui eksistensi penegakan
hukum HAM yang ada di Indonesia.
b.
Tujuan
Khusus
Tujuan khusus penelitian
yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, serta ;
2.
Untuk mengetahui sejauh mana peranan
pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan HAM di Indonesia.
D. METODE
PENELITIAN
1.
JENIS PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum
normatif dengan metode pengumpulan data kepustakaan yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil
penelitian. Bahan-bahan pustaka diperoleh di perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya dan melalui situs-situs terkait.
2. PENDEKATAN
PENELITIAN
Di dalam penelitian ini terdapat beberapa
pendekatan.Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis (historical approach) .Pendekatan
historis dilakukan dengan kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu
ke waktu.[3]Dalam tulisan ini, dilakukan penelitian sejarah HAM
dan perkembangannya di Indonesia
serta lembaga peradilan yang menegakkan HAM tersebut.
3. JENIS
DAN SUMBER BAHAN HUKUM
Berdasarkan sumbernya, penelitian ini menggunakan data
sekunder.Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,
buku-buku berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuklaporan,
skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan.[4] Data sekunder yang digunakan terbagi menjadi:
a.
Bahan
hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat, di mana yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah deklarasi dan
konvensi-konvensi internasional yang terdiri dari:
b.
Bahan
hukum sekunder, yaitu buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait
dengan objek penelitian ini.[5] Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini adalah buku-buku, jurnal-jurnal, hasil penelitian seperti skripsi, tesis
dan disertasi yang berkaitan dengan HAM serta penegakkannya di Indonesia.
c. Bahan hukum tersier, yaitu petunjuk atau penjelasan
mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder[6], dimana peneliti menggunakan artikel-artikel dan
berita tentang isu dalam penelitian ini.
4. TEKNIK
ANALISIS BAHAN HUKUM
Berdasarkan sifat penelitian ini digunakan metode
penelitian bersifat deskriptis analitis, dan analisis data yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif.[7] Pendekatan kualitatif adalah metode untuk menyelidiki
obyek yang tidak dapat diukur dengan angka-angka ataupun ukuran lain yang
bersifat eksak dan deskriptif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Eksistensi
Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia
Preambul
Deklarasi Universal HAM menyatakan bahwa perlindungan terhadap HAM harus
dilaksanakan melalui sarana hukum, hal ini dinyatakan sebagai berikut : “whereas it is essential,...that human rights
should be protected by the rule of law,...”. Hal tersebut dapat diartikan
bahwa di tingkat nasional (Indonesia) masalah perlindungan HAM diatur lebih
lanjut melalui sarana hukum. Tegasnya, negara harus mengatur HAM dalam
peraturan perundang-undangan dengan upaya legislasi nasional (legislative
measure). Melalui sarana hukum diharapkan aspek kepastian hukum terhadap
perlindungan HAM akan lebih terjamin.
Dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa
negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan
dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan, serta
keadilan. Oleh karena itu, eksistensi HAM telah mendapatkan pengakuan secara
hukum oleh negara Indonesia. Pengingkaran terhadap HAM tentunya akan
berimplikasi pada pelanggaran hukum. Hal ini dikarenakan HAM adalah hak hukum
yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab dari negara.
Sebagai anggota
PBB Indonesia mempunyai kewajiban untuk melindungi (to protecti) , untuk menjamin (to
ensure), dan untuk memenuhi (to
fulfill) HAM. Di samping secara moral, Indonesia juga mempunyai kewajiban
secara hukum untuk mewujudkan ketiga hal tersebut. Hal ini antara lain, telah
dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.[8]
Dewasa ini,
penegakan hukum HAM di Indonesia telah didukung pula oleh berbagai peraturan
perundang-undangan. Landasan konstitusional mengenai pengakuan terhadap HAM di
Indonesia juga telah di atur dalam UUD 1945. Sebagai sumber hukum tertinggi
negara Indonesia, UUD 1945 telah secara eksplisit mengatur HAM di dalam BAB XA
dari Pasal 28A hingga Pasal 28J.
Menyangkut
penegakan Hukum HAM di Indonesia, secara kelembagaan ada dua institusi yang
mempunyai peran yang sangat penting, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM) dan pengadilan HAM. Kedua institusi ini dikatakan sangat penting,
terutama jika dikaitkan dengan masalah pelanggaran berat HAM (gross violations of human rights).
Komnas HAM
didirikan berdasarkan Kepres Nomor 50 tahun 1993 dengan tujuan untuk membantu
pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM serta meningkatkan
perlindungan HAM.[9]
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Komnas HAM melakukan sejumlah kegiatan yang
pada intinya neiputi tiga hal, yaitu penyebarluasan wawasan HAM kepada
masyarakat Indonesia dan Internasional; pengkajian berbagai instrumen HAM PBB
dalam rangka aksesi/ratifikasi; peantauan dan penyelidikan pelaksanaan HAM.[10]dalam
perkembangan selanjutnya, eksistensi Komnas HAM kemudian lebih diperkuat dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.[11]
Pengadilan HAM
dibentuk sebagai amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 untuk mengadili
Pelanggaran Berat HAM. Kemudian sebagai tindak lanjut dari ketentuan tersebut,
dibuatlah Undang-Undang tersendiri sebagai dasar hukum pengadilan HAM, yaitu
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pengadilan HAM
merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan
memiliki tugas dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
berat HAM.[12]
Adapun pelanggaran berat yang dimaksud hanya meliputi kejahatan “genocide” dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).[13]
Undang-Undang
Pengadilan HAM menentukan bahwa untuk kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang
terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini akan diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan HAM ad hoc atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu
dengan keputusan Presiden. Pengadilan ini juga berada di lingkungan pengadilan
umum.[14]
Berdasarkan Keppres Nomor 53 Tahun 2001 dan Keppres Nomor 96 Tahun 2001 dua
Pengadilan HAM ad hoc telah dibentuk untuk menyelesaikan kasus
Tanjung Priok (1984) dan kasus pelanggaran HAM di Timor Timur (1999).[15]
1. Sejarah
HAM
HAM dapat
dipandang dari berbagai perspektif, salah satunya perspektif historis. Untuk
itu sangat diperlukan pemahaman akan sejarah HAM. Sejarah tentang HAM
sesungguhnya dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan keberadaan manusia di
muka bumi. Mengapa dikatakan demikian, karena HAM memiliki sifat yang selalu
melekat (inherent) pada diri setiap
manusia, sehingga eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan
manusia.[16]
Secara historis
hak-hak asasi manusia adalah selalu diwarnai oleh serangkaian perjuangan, yang
tidak jarang bahkan menjelma dalam bentuk revolusi. Sejarah juga mencatat
banyak kejadian dimana orang, baik secara individu maupun kelompok, mengadakan
perlawanan terhadap penguasa atau golongan lain untuk memperjuangkan apa yang
dianggap sebagai haknya, bahkan terkadang disertai dengan taruhan jiwa dan
raga.[17]
Masalah hak
asasi manusia merupakan masalah berkepanjangan selama manusia masih hidup,
karena adanya rangkaian tak terlepaskan antara yang memerintah dengan yang
diperintah. Paham HAM lahir di Inggris pada abad ke-17. Inggris memiliki
tradisi perlawanan yang lama terhadap segala usaha raja untuk mengambil
kekuasaan mutlak.[18]
Hak Asasi
Manusia merupakan hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dimilki oleh setiap
umat manusia sejak lahir sebagai Anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya,
yaitu umat manusia tanpa terkecuali. Hak asasi manusia melekat pada diri
manusia sejak lahir, karena itu muncul gagasan tentang hak asasi manusia dan
pengakuan atas-Nya sehingga dalam proses ini lahir dari beberapa naskah. Antara
lain:
a.
Magna Carta Libertatum (1215)
Pada umumnya para pakar di Eropa
berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Carta yang memuat pandangan bahwa
raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum,
tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi
kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya di-muka hukum.
Magna Carta di Inggris memuat hal-hal
sebagai berikut:
a)
Seorang
tidak boleh dipenjarakan (dihukum) dengan tidak ada vonis yang sah menurut
hukum.
b)
Suatu
pajak (cukai) tidak boleh dinaikkan dengan tanpa persetujuan sebuah dewan yang
di dalamnya ada kaum bangsawan, pendeta, dan rakyat jelata.[19]
Magna Carta berpedoman pada dua
postulat pokok yang dimaksud melarang sistem penahanan, penghukuman dan
perampasan benda-benda hak milik manusia dengan sewenang-wenang.[20]
b.
Habeas Corpus (1679)
Petition of
Right
merupakan suatu dokumen yang lahir karena tuntutan rakyat yang duduk di House of Commons (parlemen) kepada raja
Charles III.[21]
Pernyataan Habeas Corpus sebagai
suatu dokumen keberadaban hukum yang bersejarah yang menetapkan bahwa orang
yang harus ditahan harus diperhadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang
hakim dan diberi tahu atas tuduhan apa ia ditahan.[22]
c.
Bill of Rights (1689)
Undang-undang yang diterima
parlemen Inggris setelah mengadakan revolusi tidak berdarah kepada raja James
II (peristiwa kemenangan atas raja), yang isinya tentang hak dan kebenaran
warga negara.
d.
Declararation of
Independence
(1776)
Tuntutan adanya hak bagi setiap
orang untuk hidup merdeka, The American
Declaration. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence
yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquie. Mulailah dipertegas bahwa
manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis
bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.[23]
Pada tahun 1791, barulah Amerika Serikat mengadopsi Bill of Rights yang memuat daftar hak-hak individu yang dijaminnya.
Hal ini terjadi melalui sejumlah amandemen terhadap konstitusi yang melindungi
kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat dan hak
berserikat, dan larangan memberatkan diri sendiri dan hak atas proses hukum
yang benar.[24]
e.
The French Declaration (1789)
Revolusi Prancis, 5 Agustus 1789
Bahwa manusia dilahirkan sama dalam keadaan merdeka dan memiliki hak-hak yang
sama. Terkenal dengan symbol liberte
(kemerdekaan), egalite (persamaan),
dan fraternity (persaudaraan).
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The
French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih
dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The
Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa
alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap,
kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.[25]Declaration
des droits de I’homme et du citoyen ini
membedakan antara hak-hak yang dimiliki manusia secara kodrati yang dibawa ke
dalam masyarakat dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga negara.
Beberapa hak yang disebutkan dalam Deklarasi tersebut antara lain hak atas
kebebasan, hak milik, hak atas keamanan, hak untuk melawan penindasan.[26]
f.
The Four Freedom (USA 1941)
Ada empat hak kebebasan berbicara
dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai
dengan ajaran agama yang dipeluknya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam
pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan
sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha,
pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi
berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain.
Franklin D. Roosevelt (Amerika
Serikat) merumuskan tentang:
1)
Freedom of speech and
expression
(kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat).
2)
Freedom of worship (kebebasan beribadat).
3)
Freedom from want (kemelaratan).
4)
Freedom from fear (kebebasan dari rasa
takut).
g.
Universal Declaration of
Human Right
(1948)
Babak baru perkembangan HAM secara internasional terjadi setelah dunia
mengalami kehancuran luar biasa akibat Perang Dunia II. Tonggak sejarah
pengaturan HAM yang bersifat internasional baru dihasilkan tepatnya setelah
Majelis Umum PBB mengesahkan Universal Declaration of Human Rights pada
tanggal 10 Desember 1948.[27]
Deklarasi ini berisi, antara lain hak kebebasan politik, hak sosial, hak
beristirahat dan liburan, hak akan tingkat penghidupan yang cukup bagi
penjagaan kesehatan keselamatan diri sendiri dan keluarga, serta hak asasi
pendidikan. Hak-hak asasi manusia dapat dibagi menjadi:
1)
Hak-hak
asasi pribadi (personal right) yang
meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan
bergerak.
2)
Hak-hak
asasi ekonomi (property right) yaitu
hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan menjualnya serta memanfaatkannya.
3)
Hak-hak
asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (right of legal equality)
4)
Hak-hak
asasi politik (political right),
yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih
dalam pemilihan umum), dan mendirikan partai politik.
5)
Hak-hak
asasi sosial dan kebudayaan (social and
culture right), misalnya hak untuk memilih pendidikan danmengembangkan
kebudayaan.
6)
Hak-hak
asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural right) misalnya pengaturan
dalam hal penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.[28]
Akan tetapi
ternyata adanya deklarasi tentang hak-hak asasi manusia masih tidak cukup mampu
untuk membebaskan manusia dari penghisapan atas manusia. Karena itu
Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap perlu untuk mencari landasan yuridis yang
dapat mengikat seluruh bangsa atau negara di dunia, yaitu dengan menyusun suatu
perjanjian yang dapat mengikat secara yuridis.
Setelah
melewati waktu kurang lebih delapan belas tahun sejak diterimanya deklarasi,
pada akhir tahun 1966 PBB menyetujui secara aklamasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights (ICESCR) yang di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan
dan perlindungan HAM, sebagai tindak lanjut (peraturan pelaksanaan) dari
deklarasi agar mempunyai nilai tinggi dari segi hukum.[29]
2. PENGADILAN
HAM DI INDONESIA
Pasal 1 angka 3
menentukan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan HAM adalah Pengadilan khusus
terhadap pelanggaran berat HAM. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 apabila dikaitkan
dengan Pasal 2 yang menentukan bahwa Pengadilan HAM merupakan Pengadilan khusus
yang berada di lingkungan peradilan umum, dan dalam Pasal 4 yang menentukan
bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat, maka menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan
pengadilan HAM adalah pengadilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum yang
hanya bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus perkara pelanggaran HAM
yang berat saja.[30]
Di Indonesia
hingga sekarang terdapat empat Pengadilan HAM yang dibentuk, yaitu Pengadilan
HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya,
Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Negeri Makassar. Diperlukan Pengadilan
HAM yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran Berat HAM,
yaitu didasarkan pada penjelasan umum Undag-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Disebutkan bahwa dibentuknya Pengadilan HAM tersebut dilaksanakan atas
pertimbangan, sebagai berikut :
a.
Pelanggaran
HAM yang berat merupakan “extra ordinary
crime” dan berdampak secara luas , baik pada tingkat nasional maupun
internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta
menimbulkan kerugian, baik materiel maupun immateriel yang mengakibatkan
perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga
perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai
kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
b.
Terhadap
perkara pelanggaran Berat HAM diperlukan langkah-langkah penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus, yaitu :
-
Diperlukan
penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad
hoc;
-
Diperlukan
pengawasan bahwa penyelidikan, hanya dilakukan oleh Komnas HAM, sedangkan
penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana yang
diatur didalam KUHAP;
-
Diperlukan
ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan;
-
Diperlukan
ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi;
-
Diperlukan
ketentuan yang menegaskan tidak ada kedaluarsa bagi pelanggaran HAM yang berat.
Secara khusus
di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pada Pasal 3 ayat (2) ditentukan
bahwa untuk daerah khusus ibukota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di
setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. [31]
3. PELANGGARAN
BERAT HAM
Pelanggaran HAM
pada hakikatnya merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Aspek luar biasa ini diindikasikan dengan
adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) yang menyertai kejahatan tersebut. Hal itu dapat terjadi, terutama
apabila dilakukan oleh mereka yang termasuk aparatur negara (state agent) yang memiliki kewenangan
tertentu dari negara. Namun, dapat juga terjadi walaupun pelakunya bukan
aparatur negara, tetapi si pelaku bertindak atas nama negara. Menurut Muladi,
hakikat dari pelanggaran HAM itu sendiri yaitu adanya penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power), artinya para pelaku
itu bertindak dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan
pemerintah (committed within a
governmental context and facilitated by government power). Perbuatan
tersebut dilakukan di dalam atau berkaitan dengan kedudukannya (within or is association with governmental
status).[32]
Dalam UU No. 39
Tahun 1999 tercantum pengertian pelanggaran HAM pada Pasal 1 butir 6 yang
berbunyi:
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”
Pelanggaran HAM
juga sering dimaknai sebagai “pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir
dari instrumen-instrumen internasional HAM”. Pelanggaran terhadap kewajiban
negara itu dapat dilakukan dengan perbuatannya sendiri (acts by commission) maupun disebabkan karena kelalaiannya (acts by ommission). Dalam rumusan lain,
pelanggaran HAM adalah “tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang
belum dipidana dalam hukum pidana nasional tetapi merupakan norma HAM yang
diakui secara internasional”.[33]
Namun rumusan pelanggaran HAM sendiri tidak selalu identik dengan “kejahatan
internasional paling serius” (the most
serious crimes). Meskipun kejahatan internasional seperti genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, agresi, terorisme, dan kejahatan perang bisa
disebut sebagai “pelanggaran HAM”, ia tidak dapat begitu saja disamakan dengan
pelanggaran HAM sebab pertanggungjawabannya sangat berbeda. Dalam
kejahatan-kejahatan internasional paling serius itu, yang bertanggung jawab
adalah individu, bukan entitas abstrak seperti negara. Sementara itu, dalam
pelanggaran HAM, yang bertanggung jawab adalah negara.[34]
Pelanggaran HAM
oleh negara, baik yang bersifat acts of
commission maupun acts of ommission,
dapat dilihat melalui kegagalan negara memenuhi tiga kewajiban berbeda yaitu
sebagai berikut:
1.
Kewajiban
untuk menghormati: kewajiban ini menuntut negara, organ, dan aparat negara
untuk tidak bertindak apa pun yang melanggar integritas individu atau kelompok
atau pelanggaran pada kebebasan mereka, seperti: (a) pembunuhan di luar hukum;
(b) penahanan serampangan; (c) pelarangan serikat buruh; (d) pembatasan
terhadap praktik agama tertentu.
2.
Kewajiban
untuk melindungi: kewajiban negara dan aparatnya untuk melakukan tikndakan yang
memadai guna melindungi pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk
pencegahan atau pelanggaran atau penikmat kebebasan mereka, contoh jenis
pelanggaran ini adalah acts of ommission dalam
bentuk: (a) kegagalan untuk bertindak, ketika satu kelompok etnis tertentu
menyerang kelompok etnis tertentu lainnya; (b) kegagalan untuk memaksa
perusahaan untuk membayar upah yang tepat.
3.
Kewajiban
untuk memenuhi: kewajiban negara untuk melakukan tindakan yang memadai, guna
menjamin setiap orang di dalam peluang yurisdiksinya untuk memberikan kepuasan
kepada mereka yang memerlukan, yang telah dikenal di dalam instrumen hak asasi
dan tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi. Contoh jenis ini adalah acts of ommission seperti: (a) kegagalan
untuk memenuhi sistem perawatan kesehatan dasar; (b) kegagalan untuk
mengimplementasikan satu sistem pendidikan gratis pada tingkat primer.[35]
Pelanggaran
berat HAM dapat dibedakan dengan pelanggaran HAM berdasarkan tiga hal yang
bersifat kumulatif, yaitu: (a) menunjuk pada seriusnya perbuatan atau tindakan,
baik dalam arti jenis perbuatan, cara maupun metode tindakan; (b) akibat yang
ditimbulkan; dan (c) pada jumlah korban. Kualifikasi lain adalah pada sifat
kejahatan, yaitu sistematis (systematic)
dan meluas (widespread). Sistematis
dikonstruksikan sebagai suatu kebijakan atau rangkaian tindakan yang telah
direncanakan. Sementara itu, meluas menunjuk pada akibat tindakan yang
menimbulkan banyak korban dan kerusakan yang parah secara luas.[36]
Adapun
sifat-sifat dari pelanggaran berat HAM dibandingkan dengan kejahatan biaasa
adalah:
1.
Pelanggaran
HAM berat bersifat universal, sedangkan dalam kejahatan biasa lebih dominan
“local content”.
2.
Pelanggaran
HAM berat memiliki sifat sistematis, meluas dan kolektif dengan korban yang
bersifat kolektif, sedangkan kejahatan biasa bersifat spontanitas, berencana
dan kasuistik dengan korban pada umumnya bersifat individual.
3.
Terhadap
pelanggaran HAM berat dapat dituntut dan diadili di negara manapun, sedangkan
kejahatan biasa dituntut dan dipidana di negara tempat tindak pidana dilakukan.
4.
Terhadap
pelanggaran HAM berat, prinsip “nebis in idem” dapat disimpangi sedangkan
terhadap kejahatan biasa, prinsip tersebut berlaku mutlak.
5.
Pelanggaran
HAM berat merupakan kejahatan internasional sedangkan kejahatan biasa merupakan
“kejahatan lokal” dan tidak diakui secara universal.
6.
Terhadap
pelanggaran HAM berat berlaku selain standar-standar nasional juga
standar-standar internasional, sedangkan terhadap kejahatan biasa hanya berlaku
standar-standar hukum nasional.
Dalam
undang-undang yang sama, pada Penjelasan Pasal 104, kejahatan yang tergolong
hak asasi manusia yang berat adalah:
a.
pembunuhan
massal (genocide)
b.
pembunuhan
sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing)
c.
penyiksaan
d.
penghilangan
orang secara paksa
e.
pembudakan
f.
diskriminasi
yang dilakukan secara sistematis
pada UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pada Pasal 7, pelanggaran berat HAM adalah:
a.
kejahatan
genosida
yang tergolong dalam kejahatan
genosida sesuai dengan Undang Undang ini diatur dalam Pasal 8, yaitu:
1.
membunuh
anggota kelompok;
2.
mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggotakelompok;
3.
menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahansecara fisik baik
seluruh atau sebagiannya;
4.
memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
5.
memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
b.
kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Dalam pasal 9 Undang-Undang ini,
diatur kejahatan apa saja yang tergolong dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan-kejahatan itu antara lain:
1.
pembunuhan;
2.
pemusnahan;
3.
perbudakan;
4.
pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa;
5.
perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secarasewenang-wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukuminternasional;
6.
penyiksaan;
7.
perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaankehamilan, pemandulan atau
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentukkekerasan seksual lain yang setara;
8.
penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasaripersamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelaminatau alasan lain
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarangmenurut hukum
internasional;
9.
penghilangan
orang secara paksa; atau
10.
kejahatan
apartheid.
Di dalam
praktik proses penegakan dan perlindungan HAM memprihatinkan terutama karena
beberapa pelanggaran berat HAM yang terjadi sampai saat ini belum terselesaikan
dengan baik, misalnya penyelesaian kasus Tanjung Priok, Daerah Operasi Militer
(DOM) Aceh, Irian, dan kasus Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur sesudah jajak
pendapat. Hingga saat ini, masih terdapat banyak kritik terhadap putusan
Pengadilan Ad Hoc HAM yang telah terselesaikan.
Terkait dengan
pembumihangusan di timtim telah mendorong dunia internasional agar dibentuk
peradilan Internasional bagi para pelakunya. Pembentukan ini juga didasarkan
atas ketidakpercayaan dunia internasional pada sistem peradilan Indonesia,
karena melihat adanya keterkaitan pelaku kejahatan yang merupakan alat negara.
Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur mempunyai nuansa khusus, karena adanya
nuansa penyalahgunaan kekuasaan, dalam arti pelaku berbuat dalam konteks
pemerintah dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah sehingga akan sulit
diadakan pengadilan pelaku kejahatan secara fair dan tidak memihak. Untuk itu
salah satu jalan keluarnya harus melalui pembaharuan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Ad Hoc HAM.[37]
Penegakan
pelanggaran berat HAM di Indonesia belum sepenuhnya dapat diselesaikan dengan
baik. Konkritisasinya masih terdapat kasus-kasus yang belum terselesaikan
maupun kasus-kasus yang belum di proses di pengadilan. Oleh karena itu,
pengadilan HAM di Indonesia sangat berperan penting dalam hal menyelesaikan
pelanggaran berat HAM di Indonesia.
B. Peranan
Pemerintah dalam Penegakan HAM di Indonesia
HAM adalah Hak yang melekat di dalam diri pribadi
individu, dan hak ini merupakan hak yang paling mendasar bagi setiap individu
untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam komunitas-komunitas masyarakat.
Bangunan dasar HAM yang melekat pada diri manusia merupakan bawaan semenjak
lahir, sehingga tidak bisa diganggu gugat oleh kepentingan apapun.
Secara filosofis, adanya Hak Asasi
Manusia (HAM) bertujuan untuk melindungi individu sebagai manusia dari
kesewenang-wenangan para penguasa dan secara historis, HAM sendiri muncul
sebagai akibat dari tindakan sewenang-wenang penguasa terhadap individu. Kedua
faktor ini merupakan penghubung antara HAM dan hakikat sebenarnya dari HAM itu
sendiri. Jadi individu sebagai manusia memiliki HAM karena semata-mata ia
adalah manusia.
Perbedaan cara pandang setiap negara tentang HAM yang
didasarkan atas pertimbangan filosofis, historis, dan sosiologis berdampak
kepada cara pandang bagaimana seharusnya pelrindungan HAM itu
diimplementasikan. Perlindungan HAM dalam pandangan masyarakat Barat ditujukan
kepada hubungan antara penguasa dengan wargaa masyarakat dengan asumsi tidak
adanya kesetaraan kedudukan di antara keduanya sehingga pola kriminalisasi
perbuatan pelanggaran HAM selalu ditujukan kepada perbuatan penguasa (asumsi
negatif). Sedangkan dalam pandangan masyarakat Timur, perlindungan HAM
ditujukan pada perbuatan penguasa antara sesama masyarakatnya dan antara
masyarakat dan penguasa dengan asumsi hubungan di antaranya serasi, selaras,
dan seimbang (asumsi positif).
Negara sebagai pihak
yang memiliki kekuasaan berhak untuk melindungi, menjamin, dan memenuhi HAM.
Apabila dikaitkan antara negara dengan HAM, maka negara tidak bisa menggunakan
kekuasaannya untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dalam menangani HAM.
Banyak sekali istilah
mengenai HAM, namun hingga saat ini belum ada pengertian yang bersifat baku dan
mengikat mengenai HAM. Seperti yang tertuang di dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM :
“HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.”
Dengan demikian dapat diketahui bahwa HAM merupakan
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dan bukan pemberian dari penguasa, manusia,
ataupun negara. HAM bersifat universal, artinya eksistensi HAM tidak dibatasi
oleh batas-batas geografis atau dengan perkataan lain HAM ada dimana ada
manusia.
Dewasa ini HAM sudah tidak dipandang sebagai perwujudan
faham individualisme dan liberalisme.
HAM lebih difahami secara humanitis sebagai HAM yang inheren dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna
kulit, jenis kelamin, dan pekerjaannya. Dewasa ini pula banyak kalangan yang
berasumsi negatif terhadap pemerintah terhadap penegakan HAM. Pada dasarnya
kita perlu mengetahui bahwa pemerintah Indonesia sudang sangat serius dalam
menegakkan HAM. Walaupun, terdapat beberapa sejarah pahit terhadap pelanggaran
berat HAM yang terjadi di Indonesia dan belum diselesaikan oleh Pemerintah
Indonesia. Beberapa upaya pemerintah tersebut adalah:
1.
Indonesia
menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh
dunia atau di setiap negara dan Indonesia sangat merespon terhadap pelanggaran
HAM internasional hal ini dapat
dibuktikan dengan kecaman presiden atas beberapa Agresi Militer di beberapa
daerah akhir-akhir ini contoh; Irak, Afganishtan, dan baru-baru ini Indonesia juga
memaksa PBB untuk bertindak tegas kepada israel yang telah menginvasi Palestina
dan menimbulkan banyak korban sipil, wanita, dan anak-anak.
2.
Komitmen
Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan penegakkan HAM, antara lain telah ditunjukkan
dalam prioritas pembangunan Nasional tahun 2000-2004 (Propenas) dengan
pembentukkan kelembagaan yang berkaitan dengan HAM. Dalam hal kelembagaan telah
dibentuk Komnas HAM dengan Keppres nomor 50 tahun 1993, serta pembentukkan
Komisi Anti Kekerasan terhadap perempuan.
3.
Pengeluaran
UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, serta masih banyak UU yang lain yang belum tersebutkan menyangkut
penegakkan HAM.
Adapun beberapa bukti yang konkrit terhadap penegakkan
HAM yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Yaitu terdapat Hak-Hak di
dalam UU nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak-hak tersebut adalah :
1.
Hak
untuk hidup.
2.
Hak
berkeluarga.
3.
Hak
untuk mengembangkan diri.
4.
Hak
memperoleh keadilan.
5.
Hak
atas kebebasan pribadi.
6.
Hak
atas rasa aman.
7.
Hak
kesejahteraan.
8.
Hak
turut serta dalam pemerintahan.
9.
Hak
wanita.
10.
Hak
anak.
Beberapa hal tersebut merupakan bukti konkrit terhadap
penegakkan HAM di Indonesia yang telah dilakukan oleh pemerintah. Namun
demikian, walaupun pemerintah telah melakukan beberapa upaya terhadap
penegakkan HAM di Indonesia diperlukan juga kontrol dari masyarakat dan
pengawasan dari lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakkan HAM yang
dilakukan oleh pemerintah, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dengan adanya kerja
sama antara pemerintah dan masyarakat serta lembaga lainnya. Maka penegakkan
HAM di Indonesia diharapkan dapat terlaksana implementasinya di masa yang akan
datang.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Adapun simpulan dari
penelitian ini sebagai berikut:
1.
Eksistensi
HAM telah mendapatkan pengakuan secara hukum oleh negara Indonesia meskipun
belum seutuhnya. Sebab, Penegakan hukum HAM di Indonesia harus didukung oleh
berbagai peraturan perundang-undangan yang kuat karena masih banyak terjadi
pelanggaran – pelanggaran terhadap HAM di Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diselesaikan dengan
baik.
2.
Pemerintah
Indonesia telah berupaya mewujudkan penegakkan HAM. Namun, di sisi lain,
diperlukan juga kontrol dari masyarakat dan pengawasan lembaga politik terhadap
upaya-upaya penegakkan HAM yang dilakukan oleh pemerintah, agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Dengan adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat serta lembaga
lainnya. Maka penegakkan HAM di Indonesia diharapkan dapat terlaksana
implementasinya di masa yang akan datang.
B. Saran
Berdasarkan
pembahasan yang telah diuraikan maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah
bahwa dalam penegakan hak asasi manusia sangat diperlukan kerja sama antara
pemerintah dan semua elemen masyarakat serta lembaga lainnya. Sehingga
diharapkan HAM di Indonesia diharapkan dapat terlaksana. Semua permasalahan
yang menyangkut hak asasi manusia harus segera diselesaikan sesuai dengan amant
undang-undang yang memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap semua warga
negara tanpa terkecuali. Tegasnya, negara harus mengatur HAM dalam peraturan
perundang-undangan dengan upaya legislasi nasional (legislative measure). Melalui sarana hukum diharapkan aspek
kepastian hukum terhadap perlindungan HAM akan lebih terjamin.
[1] R. Wiyono,
2006, “Pengadilan Hak Asasi Manusia di
Indonesia”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 1.
[8] Dalam Konsideran huruf d Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia dinyatakan sebagai berikut : “bahwa bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum
untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universa tentang HAM yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai HAM yang telah di terima oleh negara Republik
Indonesia.”
[9] Pasal 4 Keppres No. 50
Tahun 1993 tentang Komnas HAM, mengatur bahwa : ”Komisi Nasional bertujuan : a. Membantu mengembangkan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan pancasila, UUD 1945, dan piagam
PBB, serta Deklarasi Universal HAM; b. Meningkatkan perlindungan HAM guna
mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
[10] Pasal 5 Keppres Nomor 50
Tahun 1993 .
[11] Dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 masalah Komnas HAM diatur didalam BAB VII, Pasal 75 s/d Pasal 99.
[12] Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 2006 Tahun 2000
[13] Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 2006 Tahun 2000
[14] Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 2006 Tahun 2000
[15] Andrey Sujatmoko, 2015, “Hukum HAM dan Hukum Humaniter”, PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 43
[16] Andrey Sujatmoko, 2015, “Hukum HAM dan Hukum Humaniter”, PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 2
[17] Bambang Sunggono dan Aries
Harianto, 2009, Bantuan hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju: Bandung, Hlm.
71
[18] Andrey Sujatmoko, Op.
Cit., Hlm. 23
[19] Erfandi, 2014,
Parliamentary Threshold dan HAM dalam Hukum Tata Negara Indonesia, Setara
Press: Malang, Hlm. 31.
[20] Andrey Sujatmoko, Op.
Cit., Hlm. 3
[21] Erfandi, Op. Cit., Hlm. 31
[22] Harifin A. Tumpa, 2010,
Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, Kencana Prenada
Media Group: Jakarta, Hlm. 1
[23] Erfandi, Op. Cit., Hlm. 32
[24] Andrey Sujatmoko, Op.
Cit., Hlm. 4
[25] Erfandi, Op. Cit., Hlm. 32
[26] Andrey Sujatmoko, Op.
Cit., Hlm. 8
[27] Ibid, Hlm. 8
[28] Erfandi, Op. Cit., Hlm. 33
[29] Bambang Sunggono dan Aries
Harianto, Op.Cit., hlm. 77
[30] R. Wiyono, 2006, “Pengadilan HAM di Indonesia”, Kencana Pernada
Media Group: Jakarta, Hlm.12.
[31] Ibid, Hlm. 15
[32]Andrey Sujatmoko.Op-cit
hlm 31
[33] Pengadilan HAM di
Indonesia: Melanggengkan Impunity, Dr. Suparman Marzuki, hlm. 38.
[37] Harifin A. Tumpa, Op.
Cit., Hlm 144
0 komentar:
Post a Comment