Tanggung Jawab dari Notaris, Notaris Pengganti, dan Pemegang Protokol terhadap Akta

Bentuk Tanggung Jawab dari Notaris, Notaris Pengganti, 
dan Pemegang Protokol terhadap Akta
BAB I
PENDAHULUAN
       A. LATAR BELAKANG
Istilah notaris berasal dari sebuah nama notaries, yaitu nama seorang pengabdi dalam suatu lembaga yang memiliki kemampuan untuk menulis cepat. Karakteristik ataupun  ciri-ciri dari lembaga ini yang kemudian tercermin dalam diri notaris saat ini, yakni :
1.     Diangkat oleh penguasa umum.
2.     Untuk kepentingan masyarakat umum.
3.     Menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum.[1]
Lembaga notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari kebutuan dalam pergaulan masyarakat, berkenaan dengan hukum keperdataan antar sesama individu yang menghendaki adanya alat bukti diantara mereka. Golongan orang yang ahli melakukan pekerjaan tulis menulis tertentu dinamakan notarii yang berasal dari nota listeria yang memiliki arti tanda-tanda tulisan atau karakter yang mereka pergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan perkataan-perkataan.
Notariat mulai masuk di Indonesia pada abad ke-17 melalui Vereenigde Oostindische Companigde (VOC). Di Indonesia, yang pertama kali diangkat sebagai notaris adalah Melchior Karchem yang merupakan sekretaris dari College Van Schepenen pada tanggal 27 Agustus 1620 sesudah didirikannya kota “Jacatra” pada tanggal 4 Maret 1621. Intruksi mengenai tugas dan wewenangnya dicantumkan dalam surat pengangkatannya. Melchior Karchem ditugaskan menjabat dengan jabatan “notaries publicius” dalam wilayah kota Jacatra, dan untuk kepentingan publik di wilayah itu khususnya berkaitan dengan akta-akta, surat-surat dan lain-lainnya serta mengeluarkan salinan-salinannya. Lalu, ditugaskan juga untuk menjalankan jabatannya dengan sumpah kesetiaan, dengan kewajiban secara jujur dan tidak ada penyelewengan membuat semua alat-alat bukti dan akta-akta notaris, serta mencatatnya dalam buku tertentu, selanjutnya berbuat segala sesuatu yang baik yang patut diharapkan dari seorang notaris. Saat itu, terdapat 3 golongan di Indonesia, yaitu:
1.     Golongan Eropa.
2.     Golongan Timur Asing, dan
3.     Golongan Pribumi.
Sehingga, pada saat itu yang menggunakan notaris adalah golongan-Eropa dan Timur Asing, sedangkan golongan Pribumi tunduk pada hukum adat atau kepercayaan lainnya. Pada saat itu, Belanda memberi suatu batasan untuk golongan pribumi kecuali apabila seorang pribumi itu sudah tunduk kepada hukum Eropa, oleh karena itu notaris pada saat itu tidak berkembang pesat dikarenakan :
1.     hanya terbatas yang tunduk pada hukum Eropa.
2.     Notaris tidak ada yang berasal dari golongan pribumi.
Di Indonesia sendiri, peraturan mengenai jabatan notaris dicantumkan dalam Reglement op hat notarisambt, dari tahun 1860 (melalui , dari tahun 1860 (melalui stbl 1860 nomor 03). Didalam Reglement op hat notarisambt di Indonesia didalam pasal 1 diadakan juga ketentuan yang sama mengenai kedudukan dan fungsi notaris seperti dalam Pasal 1 De Wet Op Het Notarisambt di Belanda, hanya ada perbedaan sedikit dalam beberapa redaksinya.
Lima tahun setelah jabatan notaris dipisahkan dari Secretarius van den Grechte “intruksi untuk para notaris” yang pertama di Indonesia adalah melalui surat keputusan Gubernur jendral tanggal 12 Nopember 1620, yang terdiri dari 10 Pasal. Diantaranya adalah ketentuan bahwa para notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya. Selain itu notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.
Setelah pengangkatan notaris pertama di Indonesia (Hindia-Belanda) oleh Gubernur Jendral Jan Pieters Coen, hanya ada dua (2) jumlah notaris di Batavia. Lalu kemudian, tahun 1654 jumlah notaris menjadi 3, dan tahun 1751 menjadi 5 notaris.
Pada tahun 1822 (Stbl 11) dengan resolusi gubernur Jendral 7 Maret 1822 Nomor 8, diadakan intruksi untuk notaris ( Intructie voor de notarissen, yang mengadakan pengaturan yang lebih luas dan terperinci mengenai jabatan notaris. Sejak masuk ke Indonesia jabatan notaris di Indonesia sampai tahun 1822 hanya diatur oleh 2 Reglement, yaitu :
1.     Reglement 1625.
2.     Reglement 1765
Dengan berlakunya Undang-Undang baru di Belanda mengenai notariat ialah “De Wet Op Het Notarisambt” dari tahun 1842, maka pemerintah Hindia-Belanda menganggap perlu mengadakan perundang-undangan baru mengenai notariat di Indonesia yang disesuaikan dengan perundang-undangan baru mengenai notariat di Belanda. Maka pada tahun 1860 diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) yang dikenal sampai dengan sekarang ini, pada tanggal 26 Januari 1860 (Stbl. Nomor 3) yang berlaku mulai pada tanggal 1 Juli 1860. Dengan diundangkannya Notaris Reglement, maka diletakanlah dasar yang kuat bagi pelembagaan notariat di Indonesia.
Pada tahun 1954 terjadi kemerosotan di bidang kenotariatan di Indonesia, kemudian pada tanggal 13 Nopember 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris Sementara.
Perubahan terhadap peraturan jabatan notaris baru dapat terlaksana setelah diundangkan Undang-Undang Nomor  30 Tahun 2004, tentang Jabatan Notaris pada tanggal 6 Oktober 2004 yang berlaku secara serta merta, maka peraturan jabatan notaris di Indonesia berdasarkan ord stbl 1860 Nomor 3 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1860 sudah tidak berlaku lagi. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tersebut, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 91 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi :
1.     Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101;
2.     Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3.     Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4.     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5.     Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.[2]
Berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum di bidang kenotariatan tersebut, dibentuk Undang-Undang tentang Jabatan Notaris.
Dalam Undang-Undang ini diatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Mengingat Akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang ini diatur tentang bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, Grosse Akta, dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris.
Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Fungsi Notaris di luar pembuatan akta otentik diatur untuk pertama kalinya secara komprehensif dalam Undang-Undang ini. Demikian pula ketentuan tentang pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris dilakukan dengan mengikutsertakan pihak ahli/akademisi, di samping Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan serta Organisasi Notaris. Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat.
Notaris sendiri adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang- undang lainnya, hal ini berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Notaris.
Kedudukan Notaris sebagai Pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, selama sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka Notaris adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Didalam KUH Perdata sendiri, berdasarkan Pasal 1868 telah dijelaskan bahwa suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang dibuat oleh dan atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu dan ditempat dimana akta itu dibuatnya.
Pejabat lain yang diberikan kewenangan membuat akta otentik selain Notaris, antara lain:[3]1. Consul (berdasarkan Conculair Wet); 2. Bupati Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman; 3. Notaris Pengganti; 4. Juru Sita pada Pengadilan Negeri; 5. Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Meskipun pejabat ini hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat umum akan tetapi mereka itu bukan Pejabat umum. Mengenai otentisitas suatu akta Notaris, lebih lanjut Soegondo Notodisoerjo, menyatakan: bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “Pejabat umum”. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai “Pejabat umum”. Sebaliknya seorang “Pegawai Catatan Sipil” (Ambtenaar van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh undang-undang ditetapkan sebagai “Pejabat umum” dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.[4]
Sesuai dengan kewenangannya, seorang Notaris berwenang untuk membuat akta otentik yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, antara lain sebagai berikut:
1.             Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2.             Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:
a.     mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b.     membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c.     membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d.     melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e.     memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f.      membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g.     membuat Akta risalah lelang.
3.             Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Akta otentik yang dimaksud sebagai kewenangan Notaris dibuat dihadapan atau dibuat oleh Notaris berguna bagi masyarakat yang membutuhkan akta seperti akta pendirian Perseroan Terbatas, akta wasiat, surat kuasa, dan lain sebagainya. Kehadiran Notaris sebagai pejabat publik merupakan jawaban dari kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum atas setiap perikatan yang dilakukannya, terutama perikatan terkait perdagangan dan kehidupan sehari-hari.
Perjanjian-perjanjian tertulis yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris disebut dengan akta. Menurut Pasal 1 angka 7 UUJNP menentukan bahwa: “Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”.Tujuan dibuatnya perjanjian-perjanjian tertulis dihadapan atau dibuat oleh Notaris adalah agar akta tersebut menjadi akta otentik yang dapat digunakan sebagai bukti kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau ada gugatan dari pihak lain.
Akta otentik memberikan bukti yang mengikat dan sempurna terhadap para pihak (beserta para ahli waris mereka) atau mereka yang memperoleh hak dari para pihak itu, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: “Suatu akta untuk memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak ini dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya”.
Kekuatan yang melekat pada akta otentik yaitu sempurna (volledig bewijskracht) dan Mengikat (bindende bewijskracht), yang berarti apabila alat bukti Akta Otentik diajukan memenuhi syarat formil dan materil dan bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak mengurangi keberadaanya, pada dirinya sekaligus melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijskracht), dengan demikian kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum didalamnya menjadi sempurna dan mengikat kepada para pihak mengenai apa yang disebut dalam akta. Sempurna dan mengikat kepada hakim sehingga hakim harus menjadikannya sebagai dasar fakta yang sempurna dan cukup untuk mengambil putusan atas penyelesaian perkara yang disengketakan.[5] 
Sebagai Pejabat umum (openbaar ambtenaar) Notaris berwenang membuat akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta oetentik. Tanggung jawab Notaris sebagai Pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta oetentik. Tanggung jawab Notaris sebagai Pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya: Pertama, Tanggung jawab Notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya.Tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
Kedua, Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang Notaris dalam kapasitasnya sebagai Pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya. Ketiga, Tanggung jawab Notaris secara administrasi atas akta yang dibuatnya. Sanksi administrasi bedasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 menyebutkan ada 5 (lima) jenis sanksi administrasi yang diberikan apabila seorang Notaris melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, yaitu: a. Peringatan lisan; b. Peringatan tertulis; c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat; dan e. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat digunakan sebagai pembuktian dalam sebuah sengketa hukum yang digunakan sebagai alat bukti untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian.
Pasal 1866 KUHPerdata mengatakan bahwa bukti tulisan merupakan salah satu alat bukti tertulis. Demikian pula dalam Pasal 1867 KUHPerdata yang menetapkan bahwa: “Pembuktian dengan tulisan dilakukan denga tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisantulisan dibawah tangan.” Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dalam gugatan perkara perdata, namun apabila melanggar ketentuan tertentu, akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, Notaris yang terbukti melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan akta yang dibuatnya hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, maka akan menimbulkan kerugian bagi pihak klien atau pihak lainnya. Oleh karena itu, Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kesalahannya tersebut dan diwajibkan memberikan ganti rugi, biaya, dan bunga kepada para pihak yang menderita kerugian.
Kehadiran lembaga notaris merupakan beleidsregel dari negara dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sengaja diciptakan negara sebagai implementasi dari negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya dalam pembuatan alat bukti otentik yang diakui oleh negara19. Notaris sebagai jabatan wajib bertindak profesional dalam melaksanakan tugas jabatannya, sesuai dengan standar jabatan yang diatur dalam UUJN, yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Jabatan notaris kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Mereka yang diangkat sebagai notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut masyarakat yang telah dilayani oleh notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada notaris.

B.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah terdapat didalam rlatar belakang tersebut, terdapat rumusan masalah, yaitu :
1.      Apa yang dimaksud akta notaris (akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna)?
2.      Bagaimana bentuk tanggung jawab dari Notaris, Notaris pengganti, pemegang protokol terhadap akta?

C.      TUJUAN DAN MANFAAT
adapun tujuan dan manfaat dari paper ini adalah untuk mengetahui mengenai :
1.     Akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna.
2.     Bentuk tanggung jawab dari notaris, notaris pengganti, dan pemegang protokol terhadap akta.



BAB II
PEMBAHASAN
1.1.AKTA NOTARIS (AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SEMPURNA)
Notaris disebut sebagai pejabat umum, yang berarti orang yang dengan syarat-syarat tertentu memperoleh kewenangan dari Negara secara atributif untuk melaksanakan sebagaimana fungsi public dari Negara khususnya dalam bidang hukum perdata untuk membuat alat bukti otentik.[6]
Adapun yang dimaksud dengan alat bukti terdapat didalam Pasal 1866 KUH Perdata :
1.     Bukti tulisan;
2.     Bukti dengan saksi-saksi;
3.     Persangkaan-persangkaan;
4.     Pengakuan, dan;
5.     Sumpah.
Salah satu alat bukti dalam acara perdata adalah bukti tertulis yang disebut akta, terutama akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris. Notaris, sebagai lembaga hukum yang dikenal timbul karena kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya suatu alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi di antara mereka, suatu lembaga dengan kewenangannya ditugaskan oleh kekuasaan umum yang oleh UndangUndang mengharuskan demikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat pembuktian tertulis dengan ketentuan sempurna.
Sebagai pejabat umum notaris memiliki wewenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya. Sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Kemudian oleh yang berkepentingan agar dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan, dan kutipannya semuanya sebegitu jauh perbuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikeculikan kepada pejabat umum lainnya.
Mengenai akta sendiri memiliki pengertian, yaitu tulisan yang di tanda tangani. Tulisan adalah kumpulan tanda baca yang menggambarkan buah fikiran untuk alat bukti yang digunakan sebagai alat bukti. Dengan membubuhkan tanda tangan didalam akta tersebut, maka perjanjian tersebut mengikat bagi kedua pihak yang membuat perjanjian.[7]
Mengenai akta otentik dijelaskan didalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”):
“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”

Akta otentik harus memenuhi apa yang dipersyaratkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, sifatnya kumulatif atau harus meliputi semuanya. Akta-akta yang dibuat, walaupun ditandatangani oleh para pihak, namun tidak memenuhi persyaratan Pasal 1868 KUHPerdata, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan (Pasal 1869 KUHPerdata).
Akta Notaris adalah akta otentik yang memeliki kekuatan hukum dengan jaminan kepastian hukum sebagai alat bukti tulisan yang sempurna (volledig bewijs), tidak memerlukan tambahan alat pembuktian lain, dan hakim terikatnya karenanya. Karena grosse akta Notaris sama kedudukannya dengan vonis keputusan hakim yang tetap dan pasti (inkracht van gewijsde) dan mempunyai kekuataan eksekutorial.[8]
Umumnya Akta notariil merupakan Akta otentik karena dalam bentuk yang ditentukan undang-undang dan dibuat oleh pejabat umum yang berwenang. Akta otentik Notaris atau disebut juga Akta notariil menjadi alat bukti tertulis yang sempurna sepanjang dalam proses pembuatannya memenuhi syarat ketentuan yang berlaku didalam perundang-undangan, dalam arti tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan mengenai kewenangan Notaris untuk membuat akta otentik diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 (“UUJN”). Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, disebutkan bahwa Notaris merupakan pejabat umum, yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU lainnya.
Kedudukan Notaris sebagai Pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, selama sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka Notaris adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Pejabat lain yang diberikan kewenangan membuat akta otentik selain Notaris, antara lain:[9]1. Consul (berdasarkan Conculair Wet); 2. Bupati Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman; 3. Notaris Pengganti; 4. Juru Sita pada Pengadilan Negeri; 5. Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Meskipun pejabat ini hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat umum akan tetapi mereka itu bukan Pejabat umum. Mengenai otentisitas suatu akta Notaris, lebih lanjut Soegondo Notodisoerjo, menyatakan: bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “Pejabat umum”. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai “Pejabat umum”. Sebaliknya seorang “Pegawai Catatan Sipil” (Ambtenaar van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh undang-undang ditetapkan sebagai “Pejabat umum” dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.[10]
Didalam Pasal 1868 KUHPerdata, terdapat Frasa “di tempat dimana akta dibuat” berhubungan dengan tempat kedudukan Notaris, bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di wilayah kabupaten atau kota (Pasal 18 ayat (1) UUJN). Wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 18 ayat (2) UUJN).
Mengenai kewenangan Notaris, Pasal 15 ayat (1) UUJN memberikan penjabaran, bahwa Notaris, dalam jabatannya, berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata untuk melayani kepentingan rakyat yang memerlukan bukti atau dokumen hukum berbentuk akta otentik yang diakui oleh negara sebagai bukti yang sempurna. Otentisitas akta notaris bukan pada kertasnya akan tetapi akta yang dimaksud dibuat dihadapan notaris sebagai pejabat umum dengan segala kewenangannya atau dengan perkataan lain akta yang dibuat notaris mempunyai sifat otentik, bukan karena undang-undang menetapkan demikian akan tetapi oleh karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dala pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.[11]
Dalam hal membuat akta otentik, akta otentik merupakan akta yang memiliki pembuktian yang sempurna. Hal ini dikarenakan[12]:
a.     Pembuktian Diri
Didalam hal pembuktian diri, pada akta otentik yang dibuat oleh notaris terdapat lambing burung garuda  dan lambing notaris dengan bentuk bentuk yang dimuat sesuai dengan Undang-Undang. Yang artinya, pada saat orang lain melihat suatu akta notaris, orang sudah mengetahui bahwa akta itu adalah sebuah akta otentik, yang tidak perlu ditanyakan dari isinya. Dengan demikian, akta otentik ini sudah  jelas memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
b.     Pembuktian Formil
Dilihat dari pembuktian formil, bahwa yang membuat akta otentik tersebut merupakan pejabat umum yang berwenang dan dapat dijamin kebenarannya.
c.     Pembuktian Materil
Didalam pembuktian materil, dapat dilihat dari fungsi notaris, yaitu utntuk menulis dan mengkonstantir semua keinginan pihak. Atas dasar permintaan dari para penghadap atau semua keterangan yang disampaikan para penghadap kepada notaris, lalu disusun menjadi suatu akta otentik.
Dalam hal akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna. Notaris memiliki kewajiban agar suatu akta otentik dapat menjadi akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, karena didalam pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Jabatan Notaris telah menjelaskan bahwa notaris memiliki kewenangan, yaitu :
a.     bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b.     membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c.     melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;
d.     mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
e.     memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f.      merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g.     menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
h.     membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
i.      membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j.      mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k.     mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
l.      mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m.   membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
n.     menerima magang calon Notaris.
Sebagaimana yang termaktub didalam Pasal 16 Ayat (1) huruf m Undang-Undang Jabatan Notaris, ditegaskan juga didalam Pasal 16 Ayat 9 UUJN, yaitu :
“Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.”
Artinya, dalam hal pembuatan akta otentik agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, suatu akta wajib untuk disusun, dibacakan, dan di tanda tangani oleh notaris, para penghadap serta saksi-saksi.
Didalam Pasal 1870 KUH Perdata, telah memberikan penjelasan bahwa suatu akta otentik memberikan diantara para pihak serta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa akta otentik itu mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, apalagi apabila akta itu memuat perjanjian yang mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi, apabila diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian itu terjadi sengketa, maka apa yang tersebut dalam Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.
1.2.TANGGUNG JAWAB DARI NOTARIS, NOTARIS PENGGANTI, DAN PEMEGANG PROTOKOL, TERHADAP AKTA.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya. Pengertian notaris ini telah disebutkan didalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.[13]
Kata notaris berasal dari kata “notaries” yaitu, nama seorang pengabdi dalam suatu lembaga yang memiliki kemampuan untuk menulis cepat. Karakteristik ataupun ciri-ciri dari lembaga ini yang kemudian tercermin dalam diri notaris saat ini adalah[14] :
a.     Diangkat oleh penguasa umum.
b.     Untuk kepentingan masyarakat umum, dan ;
c.     Menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum.
Dalam hal menjalankan tugasnya, notaris memiliki wewenang dan tanggung jawab terhadap akta yang dibuat olehnya. Wewenang, kewajiban, dan larangan bagi seorang notaris telah diatur didalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 UUJN secara berturut-turut.
Dalam hal notaris mengajukan cuti, sakit, atau tidak dapat menjalankan jabatannya sebagai notaris untuk sementara, maka akan ditunjuk seorang notaris pengganti untuk menggantikan sementara jabatannya sebagai notaris. Untuk notaris yang mengajukan permohonan cuti, maka notaris dapat mengajukannya kepada pejabat yang berwenang, yaitu sesuai dengan yang telah disebutkan didalam Pasal 27 Ayat 2 UUJN :
a.     Majelis Pengawas Daerah dalam hal jangka waktu cuti tidak lebih dari 6 bulan.
b.     Majelis Pengawas Wilayah dalam hal jangka waktu cuti tidak lebih dari 6 bulan sampai dengan 1 tahun.
c.     Majelis Pengawas Pusat dalam hal jangka waktu cuti tidak lebih dari 1 tahun.
Berdasarkan Pasal 1 UUJN Notaris pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai notaris untuk menggantikan notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai notaris. Sedangkan notaris pengganti khusus adalah seorang yang diangkat sebagai notaris khusus untuk membuat akta tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat penetapannya sebagai notaris karena didalam satu daerah kabupaten atau kota terdapat hanya seorang notaris yang bersangkutan menurut ketentuan Undang-Undang ini tidak boleh membuat akta yang dimaksud.
Dalam melaksanakan jabatannya, notaris atau notaris pengganti membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai protocol notaris. Protokol notaris itu sendiri berdasarkan Pasal 1 huruf 13 UUJN adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip Negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris. Disini, pemegang protokol notaris memiliki wewenang dan tanggung jawab terhadap akta. Mengenai tanggung jawab notaris, notaris pengganti, dan pemegang protokol terhadap akta akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini.

1.2.1.     Tanggung Jawab dari Notaris Terhadap Akta
Jabatan notaris kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Mereka yang diangkat sebagai notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut masyarakat yang telah dilayani oleh notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada notaris. Dengan demikian notaris merupakan jabatan publik yang mempunyai karakteristik yaitu:
1.     Notaris sebagai Jabatan.

UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, 
artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan notaris di Indonesia harus mengacu kepada undang-undang tersebut. Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.
2.     Notaris mempunyai kewenangan tertentu.

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya, sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertentangan dengan wewenang jabatan lainnya. Wewenang notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.
3.     Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah.

Pasal 2 Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Jabatan Notaris). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti notaris menjadi subordinasi (bawahan) yang mengangkatnya pemerintah. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya bersifat mandiri, tidak memihak siapapun dan tidak tergantung kepada siapapun artinya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
4.     Tidak menerima gaji atau pensiun dari Pemerintah.
Notaris hanya menerima honorarium21 dari masyarakat yang telah dilayaninya serta dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.
5.     Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.

Kehadiran notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata sehingga notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, karena jabatan ini dapat dipertanggungjawabkan maka masyarakat dapat menggugat secara perdata kepada notaris dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat.
Notaris sebagai pejabat umum harus independen atau mandiri artinya institusi notaris secara manajerial dapat berdiri sendiri tanpa tergantung kepada atasan ataupun kepada pihak lainnya. Maksudnya adalah notaris tidak mendapat intervensi atau pengaruh dari pihak lain ataupun diberi tugas oleh instansi lain. Konsep independen ini harus diimbangi dengan konsep akuntabilitas atau keterbukaan dalam menerima kritik dan pengawasan dan kontrol dari luar serta bertanggung jawab kepada pihak luar atas hasil pekerjaannya serta pelaksanaan tugas jabatannya. 3 (tiga) bentuk independensi yaitu[15]:
a.     Structural Independen yaitu independen secara kelembagaan (institusional) yang dalam bagan struktur terpisah dengan tegas dari institusi lain. Meskipun notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau berada dalam stuktur Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
b.     Functional Independen yaitu independen dari fungsinya yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas, wewenang dan jabatan notaris.
c.     Financial Independen yaitu independen dalam bidang keuangan yang tidak pernah memperoleh anggaran dari pihak manapun juga.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa konsep independensi berkaitan pula dengan konsep akuntabilitas atau pertanggungjawaban, keterkaitan tersebut antara lain dijabarkan dalam konsep akuntabilitas yaitu:[16]
1.     Akuntabilitas Spiritual: Hal ini berkaitan dengan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bersifat pribadi, tercantum dalam Sumpah atau Janji Jabatan Notaris, ini seharusnya mewarnai setiap tindakan dalam menjalankan tugas jabatan.
2.     Akuntabilitas Moral kepada Publik: Kehadiran notaris adalah untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkan jasa dari notaris, maka masyarakat berhak untuk mengontrol hasil kerja dari notaris.
3.     Akuntabilitas Hukum: Notaris bukan jabatan yang kebal terhadap hukum, bilamana ada tindakan notaris yang melanggar hukum, maka mau tidak mau notaris yang bersangkutan harus bertanggung jawab.
4.     Akuntabilitas Profesional: Notaris yang profesional adalah notaris yang dilengkapi dengan berbagai keilmuan yang mumpuni yang dapat diterapkan dalam praktik.
5.     Akuntabilitas Administratif: Notaris telah mempunyai surat pengangkatan sebagai notaris sehingga legalitasnya tidak perlu diragukan, pengarsipan akta-kata diadministrasikan dengan seksama, hal ini berkaitan dengan manajemen kantor notaris.
6.     Akuntabilitas Keuangan: melaksanakan kewajiban untuk membayar pajak, membayar kewajiban kepada organisasi, membayar gaji karyawan sesuai Upah Minimum Regional bagi Tenaga Kerja.
Pasal 15 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan undang-undang. Pasal ini menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum[17], hal ini disebut sebagai kewenangan umum notaris dengan batasan sepanjang:
1.     Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang- Undang.
2.     Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
3.     Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. 

            Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa wewenang notaris adalah membuat akta, bukan membuat surat, seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau membuat surat lain seperti Surat Keterangan Waris (SKW). Ada beberapa akta otentik yang merupakan kewenangan notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain,yaitu[18] :
a.     Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW),
b.     Akta berita acara tentang kelalaian pejabat menyimpan hipotik (Pasal 1227 
BW),
c.     Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi 
(Pasal 1405 dan 1406 BW),
d.     Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK),
e.     Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Pasal 15 ayat (1)Undang- 
Undang Nomor 4 Tahun 1996.
f.      Membuat akta risalah lelang.
Pasal 15 ayat (2) UUJN mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu,seperti :
1.     Mengesahkan tanda-tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
2.     Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
3.     Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yng memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
4.     Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
5.     Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
6.     Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
7.     Membuat akta risalah lelang.
Kewenangan khusus notaris lainnya, yaitu membuat akta dalam bentuk  in-originali, yaitu akta :
a.     Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b.     Penawaran pembayaran tunai;
c.     Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d.     Akta kuasa;
e.     Keterangan kepemilikan; atau
f.      Akta lainnya berdasarkan perturan perundang-undangan.
Tetapi kewenangan tersebut tidak dimasukkan sebagai kewenangan khusus tapi dimasukkan sebagai kewajiban notaris diatur dalam Pasal 16 ayat (3) UUJN. Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang tersebut dalam Pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta akta yang telah ditandatangani, dengan cara membuat Berita Acara Pembetulan, dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan tersebut notaris wajib menyampaikannya kepada para pihak.
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka notaris telah melakukan tindakan di luar wewenang, maka produk atau akta notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (non-executable), dan pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan notaris di luar wewenang tersebut dapat menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.
Didalam Pasal 16 UUJN telah diatur mengenai kewajiban seorang notaris. Khusus untuk notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i dan k UUJN, di samping dapat dijatuhi sanksi yang terdapat dalam pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat dihadapan notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum, dan juga merugikan para pihak yang bersangkutan, maka pihak tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.
Pasal 16 ayat (7) UUJN menyatakan pembacaan akta tidak wajib dilakukan, jika dikehendaki oleh penghadap agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isi akta-akta tersebut, dengan ketentuan tersebut dicantumkan atau pada akhir akta. Sebaliknya jika penghadap tidak berkehendak seperti itu, maka notaris wajib untuk membacakannya, ditandatangani oleh penghadap, saksi, dan notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN. Jika ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUJN dan Pasal 44 (2) UUJN dilanggar oleh notaris, maka notaris akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, yaitu akta yang dibuat dihadapan notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum, dan juga merugikan pihak yang bersangkutan, atas hal tersebut maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris yang bersangkutan.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN yaitu notaris tidak mau menerima magang calon notaris, tidak akan menyebabkan notaris yang bersangkutan dikenakan sanksi apapun. Meskipun tidak ada sanksi atas kewajiban tersebut, secara moral ketentuan tersebut wajib untuk dilaksanakan oleh notaris, karena semua notaris yang sekarang menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris pernah magang pada notaris sebelum yang bersangkutan diangkat sebagai notaris.
Salah satu bagian dari sumpah/janji notaris yaitu bahwa notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan lain yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan notaris, bahwa notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Secara umum notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta notaris, kecuali diperintahkan oleh undang- undang bahwa notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut, batasannya hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan-keterangan atau pernyataan yang diketahui notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud.
Instrumen untuk ingkar bagi notaris ditegaskan sebagai salah satu kewajiban notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, sehingga kewajiban ingkar untuk notaris melekat pada tugas jabatan notaris. Berbeda dengan hak ingkar yang dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan, kewajiban ingkar mutlak dilakukan dan dijalankan oleh notaris, kecuali ada undang-undang yang memerintahkan untuk menggugurkan kewajiban ingkar (verschoningsplicht) tersebut. Bahwa notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri notaris tetapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada notaris, bahwa notaris dipercaya oleh para pihak mampu menyimpan semua keterangan atau pernyataan para pihak yang pernah diberikan di hadapan notaris yang berkaitan dalam pembuatan akta.[19]

1.2.2.     Tanggung Jawab dari Notaris Pengganti Terhadap Akta
Tanggung jawab notaris pengganti di dalam pembuatan akta menurut UUJN diatur dalam Pasal 33 ayat (2) yang menegaskan bahwa notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 berlaku bagi notaris pengganti. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa dalam hal tanggungjawab notaris pengganti dalam pembuatan akta bila terdapat kesalahan atau kelalaian dapat dikenakan sanksi yaitu yang terdapat dalam Pasal 84 dan Pasal 85 serta dikaitkan dengan Pasal 86 UUJN yang mana menegaskan apabila pihak yang dirugikan pada saat pembuatan akta tersebut dapat menuntut kepada notaris pengganti baik secara perdata, pidana maupun dipandang secara kode etik notaris, sepanjang tidak bertentangan dengan UUJN.
Apabila seorang notaris cuti, diwajibkan baginya menunjuk notaris pengganti artinya bahwa notaris pengganti ada karena notaris sedang cti, karena sakit, sedang menjabat sebagai pejabat negara atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai notaris. Terdapat syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris pengganti adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 UUJN sebagai berikut :
1.     Syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris adalah warga negara Indonesia yang berijazah Sarjana Hukum dan telah bekerja sebagai karyawan kantor notaris paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut.
2.     Ketentuan yang berlaku bagi notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 berlaku bagi notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris, kecuali undang-undang menentukan lain.
Notaris pengganti memiliki kewenangan sebagai seorang notaris sebagaimana berdasarkan undang-undang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UUJN yakni sebagai seorang pejabat umum yang diangkat untuk sementara waktu dan mempunyai kewenangan sebagai seorang notaris. Notaris pengganti diangkat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan UUJN, bukan oleh notaris yang mengusulkannya atau yang menunjuknya. Penegasan tentang kedudukan hukum notaris pengganti ini diperlukan tidak hanya untuk kepentingan notaris pengganti melainkan untuk kepentingan publik yang menggunakan jasa-jasa notaris pengganti.
Mengenai hal pelaksanaan notaris pengganti tersebut dapat menjalankan jabatannya setelah mengangkat sumpah jabatan notaris di depan kepala kantor pertanahan setempat. Mengenai hak kewenangan notaris pengganti sama halnya seperti notaris yang diatur menurut UUJN yang walaupun masa kerjanya hanya sebagai pengganti atau sementara[20],yaitu :
1.          Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2.          Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal pembuatan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi).
         Legalisasi merupakan tindakan mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perorangan atau oleh para pihak di atas kertas bermaterai cukup yang ditandatangani dihadapan notaris dan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh notaris.
1.     Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (waarmerking)
2.     Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan
3.     Melakukan pengesahan kecocokan fotocopi dengan surat aslinya (legalisir)
4.     Memberikan penyuluhan sehubungan dengan pembuatan akta
5.     Membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan
6.     Membuat akta risalah lelang.
         Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli yang menyebutkan tanggal dan nomor BA pembetulan dan salinan tersebut dikirimkan ke para pihak.
Dengan adanya persamaan kedudukan hukum antara notaris pengganti dengan notaris tersebut maka tidak ada keragu-raguan lagi bahwa akta-akta yang dibuat oleh notaris pengganti mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan akta-akta notaris, artinya bahwa akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris pengganti bersifat otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagimana dimaksud dalam Pasal 1870 KUH Perdata[21].
Mengenai hal apabila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh notaris pengganti dalam hal pembuatan akta sehingga menimbulkan kerugian seorang masyarakat dan pemerintah atau Negara atau melakukan pelanggaran disiplin terhadap larangan atau kewajiban sebagai notaris akan dikenakan sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Mengenai hal pertanggungjawaban dari profesi notaris pengganti dalam menjalankan tugas jabatannya setelah menerima kewenangan dari notaris untuk pertama kalinya adalah yang berkaitan dengan pertanggungjawaban perdata. Pertanggungjawaban ini merupakan konsekuensi logis yang harus dimintakan kepada seorang profesi hukum di dalam melaksanakan tugasnya. Adapun pertanggung jawaban tersebut tidak hanya berdasarkan moral tetapi juga berdasarkan hukum. Hal demikian berangkat dari pemikiran bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang harus dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban. Hal pertanggungjawaban secara perdata maka notaris pengganti bertanggungjawab atas perbuatan melakukan yang tidak diperbolehkan oleh hukum dan sebagian besar dari perbuatan yang melanggar hukum yaitu mengenai hal perjanjian yang diatur dari Pasal 1266 sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pelanggaran tersebut membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian. Dengan demikian apabila notaris di dalam menjalankan tugas jabatannya dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang menghadap di dalam perbuatan suatu akta dan hal itu benar-benar dapat diketahui, bahwa sesuatu yang dilakukan oleh notaris pengganti misalnya bertentangan dengan undang-undang maka notaris pengganti dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Begitu juga sebaliknya apabila notaris pengganti yang tugasnya juga memberikan pelayanan kepada masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau pembuatan suatu akta, kemudian di dalam akta itu terdapat suatu klausula yang bertentangan. Dengan demikian notaris pengganti dapat diajukan melakukan perbuatan melawan hukum dan dapat diajukan ke pengadilan. Selanjutnya apabila perbuatan melawan hukum tersebut dapat dibuktikan, maka notaris pengganti wajib membayar ganti kerugian kepada para pihak yang dirugikan.
Apabila Notaris pengganti dalam menjalankan tugas jabatannya melakukan kesalahan yang seharusnya oleh UUJN tidak dibenarkan, yaitu dalam hal pembuatan akta notaris untuk menguntungkan salah satu pihak atau diri notaris sendiri yang mana setiap notaris dalam menjalankan tugas jabatannya telah dilarang atau tidak boleh berpihak dan tidak boleh sebagai pihak yang berkepentingan dalam akta yang dibuatnya. Hal ini telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUJN dimana notaris dalam melakukan tugas jabatannya menyadari kewajibannya bekerja sendiri, jujur , tidak berpihak dan penuh rasa tanggung jawab.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UUJN bahwa seorang notaris/PPAT pengganti dalam melakukan tugasnya sebagai notaris dapat dipertanggungjawabkan yaitu dalam hal-hal :
1.     Yang secara tegas ditentukan oleh UUJN
2.     Jika suatu akta karena tidak memenuhi syarat-syarat mengenai bentuk, dibatalkan di muka pengadilan atau dianggap hanya dapat berlaku sebagai akta yang dibuat di bawah tangan
3.     Di dalam segala hal, dimana menurut ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367 KUH Perdata terdapat kewajiban untuk membayar ganti kerugian.
Dengan demikian pada dasarnya seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam UUJN mengandung ancaman hukuman hal ini disebabkan karena adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 50 UUJN yang menegaskan bahwa pengadilan negeri dapat mengambil tindakan apabila notaris mengabaikan keluruhan martabat atau jabatannya, melakukan pelanggaran terhadap peraturan umum atau melakukan kesalahan-kesalahan lain, baik di dalam maupun di luar menjalankan jabatannya sebagai notaris pengganti.[22]

1.2.3.     Tanggung Jawab Pemegang Protokol Terhadap Akta
Protokol notaris berdasarkan Pasal 1 angka 13 UUJN adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip Negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris.
Didalam pasal 16 ayat 1 huruf  b notaris memiliki kewajiban untuk membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol akta. Namun, dalam hal notaris membuat akta dalam bentuk originali hal tersebut tidak berlaku, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat 2 UUJN.
Protokol notaris menurut penjelasan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, terdiri dari[23] :
a.     minuta Akta;
b.     buku daftar akta atau repertorium;
c.     buku daftar akta di bawah tangan yang penandatanganannya dilakukan
1.     di hadapan Notaris atau akta di bawah tangan yang didaftar;
d.     buku daftar nama penghadap atau klapper;
e.     buku daftar protes;
f.      buku daftar wasiat; dan
g.     buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 61 ayat 1 UUJN, Notaris, secara sendiri atau melalui kuasanya, menyampaikan secara tertulis salinan yang telah disahkannya dari daftar akta dan daftar lain yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lama 15 (lima belas) hari pada bulan berikutnya kepada Majelis Pengawas Daerah.
Berdasarkan Pasal 62 UUJN, Suatu protokol notaris diserahkan dalam hal notari :
a.     meninggal dunia;
b.     telah berakhir masa jabatannya;
c.     minta sendiri;
d.     tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
e.     diangkat menjadi pejabat negara;
f.      pindah wilayah jabatan;
g.     diberhentikan sementara; atau
h.     diberhentikan dengan tidak hormat.
Dalam hal protokol notaris musnah, maka ia harus membuat berita acara di kantor polisi. Akta yang musnah tetap menjadi akta otentik karena sudah diresmikan sesuai dengan ketentuan Verlijden. Notaris dapat membuatkan salinan berdasarkan salinan resmi jika protokol notaris musnah, dengan syarat bahwa notaris berkeyakinan salinan tersebut tidak dipalsukan.
Notaris berkewajiban dan bertanggung jawab terutama atas pembuatan akta otentik, menyimpan minuta aktanya termasuk semua protokol notaris dan memberi grosse, salinan dan utipan akta. Dalam hal ini notaris sebagai penyimpan protokol. Sesuai dengan pasal 54 UUJN Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada Akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.  
Sementara itu, apabila terdapat pemberhentian notaris, maka hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberhentian notaris adalah menyangkut dengan protokol notaris., karena merupakan dokumen Negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris dan untuk kelangsungan pemberian jasa notaris.
Didalam Pasal 65 UUJN disebutkan bahwa Notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap Akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris.
Sebagai pemegang protokol notaris, baik itu notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab untuk menyimpan protokol notaris ditempat penyimpanannya. Mengenai tempat penyimpanannya, undang-undang tidak hanya mengatur cara penyimpanannya, akan tetapi juga mengatur tempat penyimpanannya. Tempat penyimpanannya itu harus mudah dicapai dan aman, tempat penyimpanannya juga harus dapat dikunci.[24]


BAB III
PENUTUP
3.1.  KESIMPULAN
1.     Akta otentik itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Jadi, apabila diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian itu terjadi sengketa, maka apa yang tersebut dalam Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.
2.     Didalam Pasal 16 UUJN telah diatur mengenai kewajiban seorang notaris. Apabila seorang notaris meanggar apa yang telah diatur didalam pasal tersebut, maka notaris di samping dapat dijatuhi sanksi yang terdapat dalam pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat dihadapan notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum, dan juga merugikan para pihak yang bersangkutan, maka pihak tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.
3.     Dalam hal melaksanakan tugasnya, Salah satu bagian dari sumpah/janji notaris yaitu bahwa notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan lain yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan notaris, bahwa notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
4.     Mengenai hal apabila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh notaris pengganti dalam hal pembuatan akta sehingga menimbulkan kerugian seorang masyarakat dan pemerintah atau Negara atau melakukan pelanggaran disiplin terhadap larangan atau kewajiban sebagai notaris akan dikenakan sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
5.     Sebagai pemegang protokol notaris, baik itu notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab untuk menyimpan protokol notaris ditempat penyimpanannya. Mengenai tempat penyimpanannya, undang-undang tidak hanya mengatur cara penyimpanannya, akan tetapi juga mengatur tempat penyimpanannya. Tempat penyimpanannya itu harus mudah dicapai dan aman, tempat penyimpanannya juga harus dapat dikunci.

3.2.  SARAN
1.     sebaiknya dalam hal pembuatan akta otentik, agar akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang tetap menjadi akta otentik yang memiliki pembuktian yang sempurna, harus memperhatiakan degala sesuatu yang berhubungan dengan syarat otentitas suatu akta yang telah diatur didalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan harus sesuai dengan kode etik notaris.
2.     Dalam hal melaksanakan tanggung jawabnya, baik itu notaris, notaris pengganti, dan pemegang protokol notaris terhadap akta harus sesuai dengan apa yang telah diatur oleh Undang-Undang. Karena jabatan notaris itu adalah jabatan sebagai pejabat umum yang mendapat kewenangan secara atributif untuk melaksanakan sebagian fungsi public dari Negara khususnya di bidang perdata untuk membuat alat bukti otentik. Sehingga, dalam hal tanggung jawabnya harus lebih ditingkatkan lagi apalagi dalam hal menjaga protokol notaris sebagai suatu dokumen yang merupakan arsip Negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris.

DAFTAR ISI
Sumber Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Sumber Tertulis
Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik terhadap UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris). (Bandung: Refika Aditama. 2009).
AnshoriAbdul Ghofur. Lembaga Kenotariatan Indonesia. (Yogyakarta : UII Press, 2009).Sasauw, Christin. Tinjauan Yuridis Tentang Kekuatan Mengikat Suatu Akta Notaris.
Flora, Henny Saida. Jurnal Ilmu Hukum, Tanggung Jawab Notaris Pengganti dalam Pembuatan Akta No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012). Jurnal Lex Privatum. Vol. III/No. 1, 2015.
Materi Perkuliahan yang di sampaikan oleh Ibu Chairunnisa Said Selenggang, S.H.,M.Kn tentang Peraturan Jabatan Notaris. FH UI Depok, 2018.
Khairani, Nuzulla. Thesis : Analisis Yuridis tentang Tanggung Jawab Notaris atas Protokol Notaris yang Diserahkan Kepadanya. (Depok : FH UI, 2011).
Prajitno, A. Andi. Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia. (Surabaya: Perwira Media Nusantara, 2015).
Soedjendro, Kartini. Perjanjian Peraihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik. (Yogyakarta : Kansius, 2001).
Tobing, G.H.S. Lumbun. Peraturan Jabatan Notaris. (Jakarta:Erlangga, 1996).
Untung, Budi. Visi Global Notaris, (Andi : Yogyakarta, 2002).
Utami, Asih Widya. Thesis : Perkembangan Kode Etik Notaris. (Depok : FH UI, 2011).





[1] G.H.S. Lumbun Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta:Erlangga, 1996), hlm. 3.
[2] Pasal 91 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris
[3]  Budi Untung, Visi Global Notaris, (Andi : Yogyakarta, 2002), hlm. 43.
[4] Kartini Soedjendro, Perjanjian Peraihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, (Yogyakarta : Kansius, 2001), hal. 43.
[5] Christin Sasauw, Tinjauan Yuridis Tentang Kekuatan Mengikat Suatu Akta Notaris, Jurnal Lex Privatum, Vol. III/No. 1, 2015, hal. 100.
[6] Materi Perkuliahan yang di sampaikan oleh Ibu Chairunnisa Said Selenggang, S.H.,M.Kn pada tanggal 28 September 2018)
[7] Materi Perkuliahan yang di sampaikan oleh Ibu Chairunnisa Said Selenggang, S.H.,M.Kn pada tanggal 09 November 2018)
[8] A. Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, (Surabaya: Perwira Media Nusantara, 2015), hal. 62.

[9]  Budi Untung, Visi Global Notaris, (Andi : Yogyakarta, 2002), hlm. 43.
[10] Kartini Soedjendro, Op.Cit., hlm. 43.
[11] Asih Widya Utami, Thesis : Perkembangan Kode Etik Notaris, (Depok : FH UI, 2011) hal. 30
[12] Materi Perkuliahan yang di sampaikan oleh Ibu Chairunnisa Said Selenggang, S.H.,M.Kn pada tanggal 19 Oktober 2018)
[13] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
[14] G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit., hal. 3.
[15] Habib Adjie. Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik terhadap UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris). (Bandung: Refika Aditama. 2009). hal. 32.
[16] Asih Widya Utami, Op. Cit., hal. 25
[17] Asih Widya Utami, Op. Cit., hal. 34.
[18] Asih Widya Utami, Ibid, hal. 34.
[19] Asih Widya Utami, Op. Cit., Hal. 40.
[20] Henny Saida Flora, Jurnal Ilmu Hukum, Tanggung Jawab Notaris Pengganti dalam Pembuatan Akta No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).
[21] Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 2009), hal. 19

[22] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007) hal. 19.
[23] Penjelasan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[24] Nuzulla Khairani, Thesis : Analisis Yuridis tentang Tanggung Jawab Notaris atas Protokol Notaris yang Diserahkan Kepadanya, (Depok : FH UI, 2011) hal. 55.

Blog Archive

Powered by Blogger.